Rabu, 15 Maret 2017

Perempuan Tanpa Profesi

Perempuan Tanpa Profesi::::....

“Kamu sungguh makhluk ajaib.”

Gumamku dalam hati di saat malam semakin menampakkan kelamnya.

Kadang kumerasa takut dengan kerasnya hati ini, sehingga tidak bisa lagi merasakan pengorbananmu.

Kadang kumerasa bersalah karena selama ini kuhanya menuntut hakku dan tidak jeli melihat hakmu.

Padahal hakmu jauh lebih besar kepadaku, dan begitu besarnya hakmu kepadaku, aku mungkin tidak sanggup untuk memberikan hak itu semua untukmu.

Dan kuyakin, semua suami tidaklah sanggup memberikan hak itu kepada istrinya.

Kutahu kamu bukanlah seorang yang kuliah pada jurusan tata boga, namun kelihaianmu sungguh lebih dari seorang tata boga restoran berbintang.

Setiap hari, seakan engkau memahami setiap maksud dari detak hati ini, sehingga saat itu juga suguhan makanan dan minuman kamu jamu suamimu tanpa bosan dan keluh kesah. Dan yang ada hanyalah sebuah senyuman mengembang tuk suamimu ini, namun karena rasa egoku yang tinggi, kadang aku tidak pernah merasakan keliahaian serta rasa letih yang menyilimuti dirimu. 

Dan tahukah kamu? Kalau saja kamu memasang harga untuk menilai semua pekerjaanmu itu, maka berapakah yang harus aku bayar untukmu? Tiga juta? Empat juta? Lima juta? Atau malah puluhan juta?

Aku tidak terlalu tahu gaji seorang tata boga di sebuah restoran, namun aku yakin tidak di bawah satu juta, dan mereka mempunya waktu istrahat untuk bekerja. Sedangkan kamu, setiap hari, setiap jam dan bahkan setiap detik, kamu luangkan waktu untuk suamimu yang hanya bekerja separuh atau sehari saja, tapi malah suamimu lebih banyak menuntut hak dari pada kamu.

Wahai istriku, kutak tahu apakah kamu pernah kursus untuk menjadi Cleaner Service atau tidak, yang jelas kumelihat jiwa bersih bersatu dengan dirimu.

Kamu selalu peka dengan kebersihan rumah dari pada diriku. Halaman-halaman rumah yang jarang kubersihkan samasa bujangku, kini halaman rumahku menjadi bersih menyejukkan hati. Padahal kutahu, kutak mampu membayar seeorang tukang taman untuk merawatnya, tapi cukup dengan tangan mungilmu, semua itu bisa menjadi tertata rapi yang tidak kalah dari seorang tukan taman.

Kujuga sadari, bahwa di rumah, aku tidak menyewa seorang pembantu untuk membantumu, namun walau begitu, setiap sudut dan pojok rumah dan bahkan WC, selalu menampakkan rona kesejukkan hati karena bersih yang selalu terjaga.

Kutidak tahu berapa sudah yang harus kukeluarkan uang jika kamu seorang tukang taman pembantu di rumahku.

Empat juta? Delapan juta? Atau mungkin puluhan juta juga?

Namun walau aku tidak memberikanmu upah, kamu selalu mengerjakannya dengan penuh ketelatenan dan keiklasan.

Hanya saja rasa ego dalam diri ini kadang membuat hati ini buta akan seluruh kerja kerasmu dalam membersihkan rumahku.

Wahai istriku, kutidak tahu berapa gaji Baby Sitter setiap jamnya. Namun kalau setiap jam diberikan gaji lima puluh ribu, maka berapa ratuskah aku bayar kamu untuk satu hari?

Mungkin bukan ratus, tapi satu juta dua ratus ribu untuk dua puluh empat jam, maka satu bulan kuharus membayarmu tiga puluh enam juta rupiah.

Pertanyaanya. Sanggupkah aku? Hati kecilku kadang berdesis akan kepahlawananmu untuk anakku. Tidurmu tidak pernah pulas karenanya, mandi kadang tidak teratur karenanya, pakaianmu juga kadang tidak terurus karenanya, dan semua itu kamu berikan bukan mengharap dari tiga puluh enam juta, tapi kamu berikan  untuk bisa melihat sepotong hatiku bisa tumbuh berkembang dengan sempurna, sedangkan aku tidak pernah menilai itu dan malah menganggap remeh pekerjaanmu.

Istriku, kupernah menyaksikan sinetron dan kupernah membaca berita dan malah kumenyaksikan sendiri, berapa gaji perawat, berapa gaji dokter, apalagi dokter specialis. Semua mereka dibayar mahal, namun tahukah wahai istriku?

Tidak semua waktu mereka diberikan untuk pasien, tidak semua pisikis mereka diberikan kepada pasien, tidak semua hati mereka diberkian kepada pasien.

Namun kamu, hanya bernamakan seorang istri, seluruh waktumu, hatimu, jiwamu dan seluruh ragamu, kamu korbankan untuk anak dan suamimu bila mereka sedang sakit.

Dan lagi-lagi aku bingung, kalau saja kamu itu untuk dibayar, maka dari mana aku mendapatkan rupiah untuk membalas jasa-jasamu?

Oh memang hati ini benar-benar buta dengan usaha dan pengorbananmu, sampai tidak pernah merasakannya. Ya Allah, istriku dan istri-istri para suami yang lain.

Kadang aku tidak sadari, bahwa di tengah-tengaku ada seorang advokat yang cerdik dan handal, dan orang itu adalah kamu wahai istriku. Aku dulu sering menyaksikan kehidupan ayah dan ibuku, ketika ayahku terjebak dalam sebuah masalah di kampung, maka orang yang paling tangkas untuk menyelesaikan masalah itu adalah ibuku.
Ibuku berdiri bak seorang advokat yang handal dan dengan izin Allah beliau bisa mengeluarkan ayahku dari keterjebakan masalah.

Kutidak tahu, jika kamu seorang advokat yang sengaja aku sewa, maka berapakah yang harus kubayar di setiap satu masalah? Satu juta? Dua juta? Atau berapa?

Oh mamang keberanianmu kadang mengalahkan keberanianku, itu karena kamu ingin melihat suami bisa cepat tersenyum.

Istriku, nurani ini tidak bisa pungkiri akan kejeniusanmu dalam memberi arahan. Kamu bak konsultan hebat yang baru kutemui di dunia ini setelah orang tua.

Ingatkah kamu dengan musyawarah aku dan kamu akan ekonomi keluarga? Di saat aku yang mengambil keputusan, maka tidak sedikit kutemui kekurangan dan kerugian, namun di saat kamu yang memberikan sebuah arahan dan keputusan, maka tidak jarang kudapati keuntungan, baik yang bersifat materi atau moril.

Aku pun kembali teringat dengan kehidupan Rasulullah dengan Khadijah, di mana tidak sedikit Rasulullah berbuat atas dasar keputusan Khadijah, maka terbantahlah sebuah hadits yang tidak jelas kesahihannya yang artinya, “Musyawarahlah dengan istri-istrimu, tetapi jangan ikuti pendapat mereka.”

Oh sungguh hadits yang bertentangan dengan prilaku Rasulullah. Begitu juga dengan hadits yang artinya, “Menaati wanita akan mendatangkan penyesalan.”

Setelah semua profesi seakan kamu sandang, maka ternyata kamu juga seorang guru yang sebenarnya. Bahkan kamu lebih dari seorang guru, kalau saja suami bisa memberikan gelar professor, maka kamulah orang pertama yang akan kuberikan gelar professor  untuk dikenal di mata dunia. Bahkan kamu lebih dari seorang professor.

Kamu lahirkan anakmu penuh dengan susah payah, setelah itu kamu didik dia dengan penuh kasih sayang, tanpa kenal bosan dan letih, kamu kerahkan seluruh tenagamu, untuk melihat buah hatiku tumbuh dengan kecerdasannya dan budi pekertinya.

Aku tidak tahu, kalau semua itu dibebankan kepadaku untuk membayarmu, maka berapalah uang yang harus kukeluarkan untukmu. Tapi sekali lagi, kamu benar-benar tidak mengharapkan itu, yang kamu harapkan hanyalah senyuman dan kebahagiaan anak dan suamimu.

Kini aku termenung serta bingung melanda diri. Malu pun ikut mewarnai gejolak bantin ini. kalau saja semua profesi di atas dijumlahkan menjadi satu, mulai dari seorang tata boga, Baby Sitter, Cleaner Service, Dokter, Profesor, Advokat an Konsultan, maka berapa sudah yang harus kubayar untuk setiap bulan? Seratus juta? Dua ratus juta? Lima ratus juta? Atau malah miliaran rupiah?

Lalu kurang apa lagi dirimu sehingga kadang aku masih berkata, “Kenapa rumah kotor. Kenapa anak belum mandi. Kenapa makanan belum siap. Di mana sarapan pagi. Di mana secangkir teh.” Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya lagi?

Oh sungguh diri ini kurang menyadari itu semua sehingga kadang membiarkanmu menyelesaikan pekerjaan itu semua tanpa turun tangan ikut membantu. Dan bahkan lebih miris lagi, aku sering berkata, “Itu hanya tugas seorang istri.” Subhanallah, Subhanallah. Di manakah sikap bijakku sebagai seorang suami?

Istriku, mungkin seluruh untaian kata-kataku tidak akan bisa mewakili sepotong hati yang kamu berikan kepadaku, walau seindah apapun kata-kataku, semua itu tidak akan bisa menggambarkan besarnya jiwamu kepadaku.

Maka biarkanlah aku menghiburmu dengan kata-kata yang sederhana yang kutulis juga dalam bukuku ‘Lentera Kehidupan’ yang dengan kata-kata ini, semoga bisa menjadi sebuah mesin dorongan diriku untuk tetap selalu memberikan yang terbaik buatmu.

“Wahai sayang, Jika kamu tidak bahagia dengan keadaanmu saat ini, maka reengutlah sukma ini, sebagai tebusan kebahagiaanmu nanti.

Wahai sayang, selalu ada dalam hati kecilku, tuk bisa menjadi malaikatmu yang bisa menciptakan senyum di bibir manismu.

Wahai sayang, semua pintamu kan terijabahi olehku demi menghabus rasa sendu yang selalu menghampirimu.

Wahai sayang, bentakan suaraku tak akan tertuju dan melambung tinggi di hadapamu, karena kutahu kamu adalah ratu dan bidadariku dan aku adalah pengawalmu.

Akhukum

Irsun Badrun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Minassunnah berusaha menyajikan artikel Islam yang mengacu pada hadits-hadits Sahih yang merupakan dasar pijak cara kita beragama.