Jumat, 07 Oktober 2016

Hukum Seputar Pewarna Kuku


Pada suatu hari, ada dua orang suami istri yang terlibat percakapan yang begitu panjang, di mana sebelum percakapn itu berlangsung, sang istri pernah meminta kepada suaminya untuk menggunakan daun pacar atau inai pada kukunya, sang suami pun mangguk saja dalam artian dia diam kurang suka, tapi dia tidak melarang istrinya menggunakan daun pacar tersebut, hanya saja untuk mencari daun pacar harus keliling kampung dan meminta punya orang.



Waktu terus berlalu, dan kedua suami istri itu melanjutkan aktivitas mereka seperti biasa, mereka berdua senang membaca buku, dan dalam rentang waktu itu, sang istri belum menggunakan daun inai juga, sehingga suatu hari, ketika sang suami sedang membaca sebuah buku dan tertulis di dalamnya,

“…Mereka juga (wanita) mewarnai kuku-kuku dengan kutek. Selain diharamkan, di dalamnya juga terdapat unsur tasyabbuh (menyerupai) dengan wanita-wanita kafir dan menyelisihi rasa dan fitrah lurus yang mana Allah menciptakan manusia di atas fitrah tersebut. Sebab, kutek tersebut dapat menghalangi sampainya air ke kulit, sehingga wudhu menjadi tidak sah.”


Membaca hal itu, sang suami langsung berkata kepada istrinya



“Dinda, kutek itu apa sih?”


Sang istri menjawab “Kutek itu pewarna kuku.”



Tidak pakai lama, mendengar perkataan sang istri, sang suami pun langsung berkata,

“Lho,, itu kemarin kamu bilang mau mewarnai kuku, sedangkan disini dia bilang kutek itu haram.”


Sang istrri langsung menanggapi perkataan suami, “ Ya jelaslah haram, karena kutek itu dia dari cat, dan kalau dari cat ya jelas dilarang, karena nanti kita berwudhu, dia dapat menghalangi kuku kita dari terkena air wudhu.”



“Terus, kalau daun inai itu tidak mengapa?” Tanya sang suami.


“Ia, kalau daun inai tidak mengapa, karena dia dari tumbuhan dan tidak menghalangi untuk tersentuhnya air pada anggota tubuh kita, dan dengan daun inai, kita juga bisa mewarnai rambut kita ketika sudah beruban, karena tidak ada larangan dari para ulama, dan ingat, kalau kita menggunakan daun inai yang sudah di dalam kemasan, harus ada label halalnya, karena sudah ada label halalnya, padahal di dalam ada campuran sesuatu, kan yang tanggung jawab nanti para ulama yang memberikan label halal itu.”




Mendengar penjelasan sang istri, sang suami hanya bisa mangguk-mangguk sebagai tanda dia kagum dengan sang istiri, tapi penjelasan sang istri belum bisa membuat sang suami diam, sang suami malah berkata,


“Tapi emangnya bagus seorang wanita pakai daun pacar begitu? Dia gunakan dan banyak mata yang memandang, bukankah itu sesuatu yang mengandung fitnah?”



“Boleh gunakan inai, asal tidak mengandung fitnah.” Kata sang istri singkat.



“Tapi itu kan mengandung fitnah.” Sang suami mengulangi perkataannya lagi.




“Ya kalau tahu itu mengandung fitnah, jangan gunakan toh, lagian wanita disuruh hanya berhias di hadapan suaminya kok, dan kalau dia menggunakan pacar dan ingin keluar, hendaknya menggunakan sarung tangan, kalau tidak kan bahaya, bisa menarik perhatian kaum lelaki, padahal menjaga diri itu jauh lebih utama.” Terang sang istri.


Sang suami pun langsug diam sembari meminta penjelasan dengan menghadirkan buku, sang istri pun membuka buku yang membahas masalah tersebut.[1]

Catatan:
Menyangkut bolehnya menggunakan inai, Imam Malik juga pernah berkata “Tidak mengapa wanita menghiasi tangannya dengan inai.”


Catatan Harian Irsun Badrun
Bone 19 agustus 2013



[1] Menyangkut bolehnya menggunakan inai, Imam Malik juga pernah berkata “Tidak mengapa wanita menghiasi tangannya dengan inai.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Minassunnah berusaha menyajikan artikel Islam yang mengacu pada hadits-hadits Sahih yang merupakan dasar pijak cara kita beragama.