Perang
Qadisiyahlah yang menjadi saksi bisu akan kepahlawanan seroang pemabuk, dan
kalau kita bahasakan sekarang adalah seorang preman. Perang ini merupakan perang terbesar yang terjadi di Irak pada
masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khatab.
Perang
yang terjadi di saat Islam masih berumuran jagung; tahun 14 Hijriah. Perang
yang dipimpin oleh Sa’d bin Abi Waqas. Perang yang terbunuh di dalamnya empat
puluh ribu dari pasukan musuh dan dua ribu lima ratus dari barisan kaum muslimin.
Di saat
perang bergejolak. Debu-debu peperangan berterbangan. Kuda-kudah menjerit dan
tentara-tentara Allah mengaung dan mengalirlah darah-darah membasahi tanah, di
sana ada seorang laki-laki yang terkurung di balik jeruji besi.
Ia adalah Abu
Mihjan
Ia
adalah seroang pemabuk. Tak pernah jera walau di dera, tak kapok walau dijobloskan
ke dalam jeruji besi bergembok.
Di saat
genderang perang bergemuruh untuk meninggikan kalimat Allah dan kuda-kuda perang berkeliling di sekitar istana, Abu
Mihjan pun bangkit dan hendak melarikan diri untuk ikut bergabung
memperjuangkan agama Allah.
Sifat
kepahlawanannya pun membara, dan persetan dengan mabuk, mungkin itu adalah
saatnya ia harus menebus segala kesalahannya, dan juga kokohnya aqidahnya,
walau sehina apapun dirinya, tapi kalau masalah agama, adalah sesuatu yang
sangat pokok dan harus diperjuangkan.
Tapi
apalah daya, memaksakan diri untuk keluar dari balik jeruji dan kaki terkunci
dengan rantai besi, hanyalah membuang-buang tenaga, maka ia pun bersenandung,
“Alangkahnya pilunya hati, menyaksikan kuda-kuda berkeliling sekitar istana
Sementara aku ditinggalkan sendiri dalam keadaan terbelenggu kokoh
Jika hendak kuberdiri, penjara besi ini terkunci
Sementara orang-orang yang telah terbunuh dalam peperangan seakan-akan
memanggilku,,,”
Abu
Mihjan tak habis akal, ia melihat ada seorang wanita (Zubara –Ummu Walad) yang
berada di dalam pusat komanda, maka ia pun mencoba bernegosiasi dengan wanita
tersebut.
Ia
meminta untuk melepaskannya dan bisa turut ikut berdarah-darah di medan perang.
Ia berjanji pada wanita itu, sebelum
matahari tergelincir di ufuk barat, dan darah-darah mengering di tanah, ia akan
segera kembali ke dalam jeruji dalam keadaan terbelenggu.
Wanita
itupun memegang janjinya. Dan bergegaslah ia melompat dari balik jeruji,
kemudian ia menarik kuda panglima perang Sa’ad bin Abu Waqas, yang saat itu tak
bisa mengendarai kuda karena penyakit bisul-bisul.
Ketika
peperangan berkecamuk dan pasukan Islam mulai melemah, tiba-tiba Sa’ad melihat
kudanya dengan ditunggangi seseorang menerobos masuk di tengah-tengah musuh.
Sa’ad
berada di antara percaya dan tidak percaya melihat adegan itu, adegan yang
membuat mata terbelalak. Sa’ad melihat laki-laki itu menerobos masuk dengan
gagah berani. Dan Allah pun menulis kemenangan bagi kaum muslimin.
Ketika
matahari mulai tergelincir, Abu Mihjan pun balik dan masuk ke dalam jeruji dan
meletakkan rantai di kakinya. Ketika panglima perang Sa’ad bin Abu Waqas tiba
di komando perang, ia melihat kudah bersimbah darah. Nafasnya terengah-engah.
Maka Sa’ad kemudian bertanya, “Kenapa begini?”
Orang-orang
pun menyebut kepadanya tentang kisah Abu Mihjan. Kisah keberaniannya. Kisah
kecemburuannya ingin meninggikan kalimat Allah walau ia hanyalah seorang yang
dipandang hina oleh manusia, dan bukankah ada orang yang melakukan amalan ahli
neraka dan orang-orang pun mengira ia termasuk dari ahli neraka padahal ia
termasuk dari ahli surga?
Sa’ad
pun senang mendengar kisahnya kemudian melepaskannya, dan pada akhirnya Abu
Mihjan pun berhenti untuk selamanya meminum khamar.
Lihat
buku Tartib Wa Tahdzib Kitab Al-Bidayah Wan Nihayah versi Indonesia (
Perjalanan Hidup Empat Khalifah Rasul Yang Agung Hal. 335-336.)
Dalam
masalah ini juga, Imam Bukhari meletakkan sebuah Bab dalam Sahihnya dengan tema
Innallah Yu-ayyidu Addina Birrajuli Al-Fajir (Allah mengokohkan agama ini
dengan para pendosa)
Akhukum
Fillah
Irsun
Anwar Badrun
Manyaran
Wonogiri 30 Oktober 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar