Berkata Abu Rafa'ah
Radhiallahu Anhu, "Aku datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam
sedangkan beliau sedang berkhutbah, maka aku pun katakan,
"Wahai Rasulullah, ada orang asing datang mau bertanya tentang agamanya
yang tidak tahu apa agamanya."
Maka Rasulullah pun
meninggalkan khutbanhnya dan menghampiriku, dan ketika beliau tiba di
hadapanku, maka dibawakanlah kursi lalu beliau duduk di atasnya dan memulai
mengajarkanku dari apa yang Allah ajarkan kepada beliau, lalu mendatangi
khutbahnya lagi dan menyempurnakan yang masih tersisa." HR. Muslim 3/15 No. 2062 (Syamilah)
"Ini kesempurnaan
ketawadhuan dan kelembutan Rasulullah dengan rakyatnya (Kaum muslimin) Kasih
sayangnya kepada mereka juga rendah hatinya untuk mereka.
Ini juga merupakan sikap
ketanggapan dalam memberikan jawaban untuk yang meminta jawaban. Mendahului
hal-hal yang lebih penting (memberikan jawaban saat itu
juga) kemudian yang penting."
Dalilul Falihin 3/54
Syekh Utsaimin berkata "Nabi
Shallallahu Alaihi Wasallam menghampiri laki-laki tersebut, dan menghentikan
khutbah kemudian setelah itu baru menyempurnakan khutbahnya.
Ini merupakan
ketawadhuan Rasulullah 'Alaihissholatu Wassalam dan keindahan perhatian,
pengawasan dan pemeliharaan beliau."
Syekh Utsaimin
memberikan sanggahan jika ada yang mengatakan, "Bahwa permasalahan publik
lebih utama dari permasalahan person, dan lelaki yang ada di hadits di atas
adalah persoalan pribadi sedangkan menyampaikan khutbah adalah permasalahan
publik."
Maka beliau memberikan
jawaban, "Ia, kalau permasalahan publik lebih besar maslahatnya, maka
permasalahan publik lebih patut didahulukan. Akan tetapi dalam permasalahan
ini, pen. Maslahat publik tidak terlalu mendominasi, namun mereka yang sedang menikmati khutbah, juga akan
mengambil faidah dari apa yang Rasulullah ajarkan kepada laki-laki tadi."
Oleh karena itu
Rasulullah duduk di atas kursi, agar semua orang bisa melihat dan mengambil
pelajaran darinya,
pen.
Seperti itulah sikap tawadhu’ Rasulullah sebagaimana
yang dituliskan Imam Nawawi yang memasukkan hadits di atas dalam pembahasan
tawadhu’. Dan tawadhu’ adalah sikap yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin.
Bercerimin dari kisah di atas, maka apakah sesuai dengan pemimpin sekarang
yang mengaku merakyat dan pemimpinnya wongcilik? Ataukah itu hanya sebuah mitos
belaka?
Karena yang namanya pemimpin yang merakyat dan wongcilik itu, selalu
memperhatikan keadaan rakyat cilik dan tidak masa bodoh dengan mereka.
Pemimpin yang merakyat dan wongcilik itu, selalu
setia mendengar keluh kesah rakyatnya, bahkan walau yang datang satu orang
menyampaikan aspirasi, maka harus di dengar selagi tidak terabaikan hal-hal
yang besasr, apalagi yang datang adalah suara banyak, maka sudah sewajarnya
mendengar curhat mereka.
Pemimpin yang merakyat dan wongcilik itu sayang
dengan wong cilik dan tidak muda mencaci apalagi mengatakan itu bukan urusan
saya, karena kata-kata ini tidak patut dikeluarkan oleh seorang pemimpin.
Pemimpin yang merakyat dan wongcilik itu, tidak
mengorbankan urusan public dalam hal ini Negara hanya untuk satu orang saja
yang bisa membuat perpecahan dalam Negara.
Kalau pemimpin yang tidak ada ciri-ciri ini, maka
pastikan, slogan “Pemimpinnya wongcilik dan merakyat hanyalah mitos.”
Baca juga artikel (Ketawadhuan Rasulullah) di sini
Akhukum
Irsun Badrun
Manyaran Wonogiri 14 Nov 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar