Selasa, 15 November 2016

Mitos Pemimpin Wong Cilik



Berkata Abu Rafa'ah Radhiallahu Anhu, "Aku datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam sedangkan beliau sedang berkhutbah, maka aku pun katakan, "Wahai Rasulullah, ada orang asing datang mau bertanya tentang agamanya yang tidak tahu apa agamanya."



Maka Rasulullah pun meninggalkan khutbanhnya dan menghampiriku, dan ketika beliau tiba di hadapanku, maka dibawakanlah kursi lalu beliau duduk di atasnya dan memulai mengajarkanku dari apa yang Allah ajarkan kepada beliau, lalu mendatangi khutbahnya lagi dan menyempurnakan yang masih tersisa." HR. Muslim  3/15 No. 2062 (Syamilah)


"Ini kesempurnaan ketawadhuan dan kelembutan Rasulullah dengan rakyatnya (Kaum muslimin) Kasih sayangnya kepada mereka juga rendah hatinya untuk mereka.


Ini juga merupakan sikap ketanggapan dalam memberikan jawaban untuk yang meminta jawaban. Mendahului hal-hal yang lebih penting (memberikan jawaban saat itu juga)  kemudian yang penting." Dalilul Falihin 3/54

Syekh Utsaimin berkata "Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam menghampiri laki-laki tersebut, dan menghentikan khutbah kemudian setelah itu baru menyempurnakan khutbahnya.


Ini merupakan ketawadhuan Rasulullah 'Alaihissholatu Wassalam dan keindahan perhatian, pengawasan dan pemeliharaan beliau."



Syekh Utsaimin memberikan sanggahan jika ada yang mengatakan, "Bahwa permasalahan publik lebih utama dari permasalahan person, dan lelaki yang ada di hadits di atas adalah persoalan pribadi sedangkan menyampaikan khutbah adalah permasalahan publik."


Maka beliau memberikan jawaban, "Ia, kalau permasalahan publik lebih besar maslahatnya, maka permasalahan publik lebih patut didahulukan. Akan tetapi dalam permasalahan ini, pen. Maslahat publik tidak terlalu mendominasi, namun mereka  yang sedang menikmati khutbah, juga akan mengambil faidah dari apa yang Rasulullah ajarkan kepada laki-laki tadi."



Oleh karena itu Rasulullah duduk di atas kursi, agar semua orang bisa melihat dan mengambil pelajaran darinya, pen.



Seperti itulah sikap tawadhu’ Rasulullah sebagaimana yang dituliskan Imam Nawawi yang memasukkan hadits di atas dalam pembahasan tawadhu’. Dan tawadhu’ adalah sikap yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin.



Bercerimin dari kisah di atas,  maka apakah sesuai dengan pemimpin sekarang yang mengaku merakyat dan pemimpinnya wongcilik? Ataukah itu hanya sebuah mitos belaka?



Karena yang namanya pemimpin  yang merakyat dan wongcilik itu, selalu memperhatikan keadaan rakyat cilik dan tidak masa bodoh dengan mereka.



Pemimpin yang merakyat dan wongcilik itu, selalu setia mendengar keluh kesah rakyatnya, bahkan walau yang datang satu orang menyampaikan aspirasi, maka harus di dengar selagi tidak terabaikan hal-hal yang besasr, apalagi yang datang adalah suara banyak, maka sudah sewajarnya mendengar curhat mereka.


Pemimpin yang merakyat dan wongcilik itu sayang dengan wong cilik dan tidak muda mencaci apalagi mengatakan itu bukan urusan saya, karena kata-kata ini tidak patut dikeluarkan oleh seorang pemimpin.



Pemimpin yang merakyat dan wongcilik itu, tidak mengorbankan urusan public dalam hal ini Negara hanya untuk satu orang saja yang bisa membuat perpecahan dalam Negara.



Kalau pemimpin yang tidak ada ciri-ciri ini, maka pastikan, slogan “Pemimpinnya wongcilik dan merakyat hanyalah mitos.”

Baca juga artikel (Ketawadhuan Rasulullah) di sini


Akhukum
Irsun Badrun
Manyaran Wonogiri 14 Nov 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Minassunnah berusaha menyajikan artikel Islam yang mengacu pada hadits-hadits Sahih yang merupakan dasar pijak cara kita beragama.